Picture to Burn
Aku seharusnya tahu sejak awal.
Dari cara dia selalu menatap bayangannya sendiri di kaca mobilnya, bagaimana dia lebih mencintai dirinya sendiri daripada siapa pun di dunia ini. Aku seharusnya sadar saat dia bilang aku "terlalu emosional" hanya karena aku ingin hubungan ini lebih dari sekadar pameran bagi egonya.
Tapi aku bodoh. Aku mencintainya.
Atau setidaknya, dulu aku mencintainya.
Sekarang? Sekarang aku duduk di kamarku, mengelilingi semua kenangan bodoh yang pernah kami bagi—foto-foto, tiket konser, surat-surat yang pernah kutulis tapi tak pernah kukirim. Aku melihat gambarnya, senyum palsu yang dulu membuatku jatuh hati.
Kedua tanganku meremas foto itu.
"Apa yang kulakukan selama ini?" gumamku, sebelum membuangnya ke lantai.
Ponselku bergetar. Salah satu temanku mengirim pesan: "Dia bilang ke semua orang kalau kamu obsesif dan gila."
Aku tertawa sinis. Tentu saja dia akan mengatakan itu. Seorang pembohong buruk sepertinya pasti akan melakukan apa pun untuk membuat dirinya terlihat seperti korban.
Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju meja rias tempat sebatang korek api tergeletak. Kuketukkan ke permukaan kayu, menyalakannya. Api kecil menari di ujungnya, terang dan panas, sama seperti amarah yang kini berkobar di hatiku.
Dengan satu gerakan, kulemparkan api itu ke dalam wadah sampah tempat foto-fotonya berjatuhan. Dalam hitungan detik, wajahnya yang menyebalkan mulai dilahap api.
Bersama dengan semua waktu yang telah kusia-siakan untuknya.
Aku tersenyum puas.
Sekarang dia bukan lagi bagian dari hidupku. Dia bukan lagi sesuatu yang harus kukenang.
Dia hanyalah sekadar foto yang terbakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar